Kamis, 09 Desember 2010

Memahami Pemikiran Ludwig Wittgenstein


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang dapat mengenal berbagai macam simbul atau homo symbolicus, baik itu simbul yang berbentuk visual maupun verbal. Bahasa merupakan simbul yang digunakan dalam berkomunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Berkaitan dengan hal tersebut maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Lacan bahwa  “Manusia bicara, karena simbol telah membuatnya manusia” Ia memberi sumbangan yang penting dalam pembahasan tentang bahasa dan kekuasaan. Dalam psikoanalisa ini, anak-anak tumbuh melalui ‘tahap cermin’. Tahap ini berlangsung ketika mereka berumur antara 6 dan 18 bulan. Seorang bocah belum bisa bicara dan belum bisa mengontrol kemampuan motoriknya untuk bisa mengenali dirinya sendiri di dalam cermin. Si kecil masih harus melihat wajah di sana itu sebagai dirinya, selain sebagai hanya sebuah gambar yang dipantulkan, tetapi bahasa kemudian membimbingnya untuk menyebutnya sebagai dirinya, dan ‘aku’-nya terbentuk. ‘Aku’ jadi identitas yang padu dan stabil. Demikianlah bahasa jadi sesuatu yang fundamental. Ia unsur penting dalam apa yang disebut Lacan sebagai ‘tata simbolik’, medium untuk kebudayaan dan kaidah masyarakat. Dengan bahasa, aku secara langsung tak langsung dipanggil, ditempatkan dan menempatkan diri dalam dunia sosial. Dengan bahasa, aku dikendalikan.
Pentingnya pemahaman terhadap bahasa inilah yang menggugah Wittgenstein dan filosof aliran filsafat analitis dan atomisme logis lainnya mengkritik adanya kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat, terutama yang dilakukan oleh kalangan idealism Inggris, seperti Bradley dan Taggart. Ia merupakan filosof besar abad XX dan mempunyai pengaruh besar terhadap aliran filsafat analitis dan postmodernisme (Kaelan, 2004 : 214). Wittgenstein melalui dua buah karyanya yang sangat monumental, yaitu Tracatus Logicus Philosophicus dan Philosophical Investigations, mencoba untuk mengurai lebih mendalam tentang pemahaman  bahasa dalam dunia filsafat, yaitu melalui teori gambar (picture theory) dan tata permainan bahasa (language games). Namun yang unik dari pemikiran Wittgenstein yaitu terjadi perubahan pemikiran atau paradigma dalam karyanya, dimana ia tidak lagi puas dengan karyanya yang pertama (Tracatus Logicus Philosophicus) dan kemudian ia kritik dan menyempurnakannya dalam karyanya yang kedua (Philosophical Investigations).
Untuk memahami konsep filosofis dan pemikiran Wittgenstein cukup sulit, terutama kalau hanya mendasarkan pada deskripsi bahasa secara gramatikal belaka. Bahkan Moore dalam karyanya yang berjudul Ludwig Wittgenstein : The Man and his Philosophy, menyatakan bahwa untuk memahami dan menyelidiki pemikiran Wittgenstein harus dipahami dengan cara tersendiri, karena metode pemikirannya sangat berbeda dan eklusif serta tidak biasa ditemukan dalam pemikiran-pemikiran filsafat lainnya (Kaelan, 2004 : 123).

B.      Rumusan Masalah
1.         Bagaimanakah riwayat kehidupan Ludwig Wittgenstein ?
2.         Filosof  manakah yang banyak mempengaruhi pemikiran Ludwig Wittgenstein ?
3.         Bagimananakah pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang filsafat bahasa ?
4.         Bagaimana kritik terhadap pemikiran Ludwig Wittgenstein ?
5.         Bagaimana pengaruh karya Wittgenstein terhadap faham Positivisme?
C.      Tujuan
Tujuan penulisan ini ingin membahas tentang :
1.         Riwayat kehidupan Ludwig Wittgenstein
2.         Filosof  yang banyak mempengaruhi pemikiran Ludwig Wittgenstein
3.         Pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang filsafat bahasa
4.         Kritik terhadap pemikiran Ludwig Wittgenstein
5.         Pengaruh karya Wittgenstein terhadap faham Positivisme





PEMBAHASAN
A.     Riwayat Kehidupan Ludwig Wittgenstein
Karya filsafati dari seorang filosof tidak lepas dari perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Begitu juga halnya dengan filosof besar abad XX Ludwig Wittgenstein. Nama lengkapnya adalah Ludwig Josef Johann Wittgenstein, ia  dilahirkan di Wina pada tanggal 26 April 1889 dan sebagai  anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Karl Wittgenstein adalah keturunan Yahudi, namun beragama Kristen Protestan. Ia seorang insinyur konstruksi baja, serta konglomerat terkaya  di Austria pada saat itu (Sluga dan Stern dalam Kaelan 2004 : 3). Ibunya: Leopoldine Kalmus adalah  anak seorang bankir kota Wina dan beragama Katholik. Leopoldine adalah penganut setia agama Katolik Roma dan Ludwig mengikuti agama ibunya. Sejak kecil Wittgenstein dan saudara-saudarinya dibentuk dalam suasana paternalistik yang keras dan otoriter. Keluarga ini memiliki tradisi religius dan kehidupan intelektual yang positif serta minat yang tinggi pada artistik. Mereka semua memiliki bakat musik. Kedekatannya pada musik ini berpengaruh kuat terhadap pemikiran Ludwig Wittgenstein di kemudian hari. Karya-karyanya memuat banyak kiasan yang diambil dari dunia musik dan karangannya memiliki ciri komposisi yang harmonis, jernih dan padat sebagaimana ciri sebuah komposisi lagu.
Sejak sekolah ia sangat tertarik pada ilmu pasti, fisika dan dunia permesinan. Pada tahun 1906, ia menamatkan sekolahnya di Linz dan melanjutkan ke sekolah tinggi teknik di Berlin-Charlottenburg. Wittgenstein juga menaruh minat besar pada aeronautika. Karena itu, ia lantas mendalami studi teknik pesawat terbang khususnya mesin jet dan baling-baling di universitas Manchester-Inggris. Dalam rangka mendukung studinya ini, dia mulai mendalami matematika dan filsafat matematika. Sejak berkenalan  dengan Russell dan Frege yang menjadi gurunya  membuat Wittgenstein makin keranjingan mendalami filsafat, terlebih setelah  ayahnya meninggal. Pada kesempatan ini pula, ia bertemu dan sering kali bertukar pikiran dengan G. E. Moore yang kemudian sangat mempengaruhi pemikiran filosofisnya. Pada saat Perang Dunia I, Wittgenstein pulang ke tanah airnya dan menjadi sukarelawan perang Austria. Dalam situasi seperti Itu, ia masih berkesempatan menulis naskah filsafat . Pada tahun 1918 ia ditawan oleh tentara Italia. Ia berhasiil menyelasaikan sebuah manuskrip  yang diberi judul Logish-Philosophische Abhandlungen  dan dimuat dalam majalah Annalen der Nathurphilosophie. Pada tahun 1921 atas anjuran G. E. Moore dan dilengkapi dengan pengantar dari Russell ditebitkanlah naskah tersebut dengan judul Tractatus Logico Philosophicus. Buku tersebut diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Jerman.
Dengan terbitnya buku tersebut  Wittgenstein  merasa kariernya sebagai seorang filosof sudah selesai. Ia mengasingkan diri ke desa-desa terpencil di Austria untuk menjadi guru sekolah dasar. Dia menjalani kehidupan sederhana dan tertutup. Tetapi kemudian ia berhenti mengajar dan menjadi seorang tukang kebun di biara Hütteldorf dekat Wina. Pada kesempatan ini ia sempat berkeinginan menjadi seorang biarawan tetapi akhirnya dibatalkan karena ia merasa tidak puas dengan kehidupan dalam biara. Tahun 1926, Wittgenstein diundang saudarinya untuk membangun rumah megah bagi saudarinya itu bersama arsitek Paul Engelmann di Wina. Pada kesempatan tinggal di Wina ini, Wittgenstein menjalin relasi dengan filsuf dan ilmuwan dari lingkaran Wina (Vienna circle) seperti Moritz Schlick, Friedrich Waismann dan Rudolf Carnap. My.opera.com/nyocor/blog/show/dml/ mengenal Ludwig Wittgenstein dan pemikirannya, diakses pada tanggal 5 November 2010.
Dalam perjumpaan dan persahabatannya dengan filsuf-filsuf lingkaran Wina tersebut, akhirnya Wittgenstein menemukan kembali gairah filosofisnya untuk mengkaji ulang karyanya  secara mendetail. Berbekal semangat ini dan ajakan dari Ramsey, pada tahun 1929 Wittgenstein kembali ke Cambridge. Di sana ia meraih gelar doktoral dari disertasinya Tractatus Logico Philosophicus di bawah penguji Moore dan Russell. Secara intensif dalam rentang waktu antara tahun 1929-1932 pemikirannya mengalami perkembangan signifikan. Wittgenstein mendalami filsafat matematika dan ekonomi di samping logika dan psikologi bersama seorang filsuf dan ahli matematika bernama Frank Ramsey dan seorang ekonom bernama Piero Sraffa dosen dari universitas Cambridge. Ia kemudian menjadi dosen di Trinity College. Sejak tahun 1936 ia tinggal dalam pondoknya di Norwegia dan mulai menyusun naskah Plilosophical Investigations. Pada  tahun 1938 ia diterima sebagai warga Inggris dan setahun berikutnya menggantikan Moore sebagai guru besar di Trinity College. Ketika Perang Dunia II meletus ia bekerja sebagai sukarelawan di rumah sakit London dan Newcastle. Demi untuk menyelesaikan buku keduannya ia meninggalkan jabatan profesornya dan hidup menyepi di Irlandia.
Tetapi karena kondisi kesehatan, Wittgenstein akhirnya pindah ke Cambridge dan tinggal di rumah seorang dokter untuk menjalani perawatan intensif. Meski kesehatan tubuhnya makin memburuk akibat kanker yang dideritanya, Wittgenstein tidak menyia-nyiakan waktu yang ada untuk menghabiskan naskah Philosophical Investigations-nya. Pada tanggal 29 april 1951 dia menghembuskan nafas yang terakhir. Kalimat terakhir Wittgenstein sebelum kematiannya adalah “Good! Tell them I’ve had a wonderful life!”
“Bagus! Katakan kepada mereka saya telah menjalani sebuah kehidupan yang sangat menyenangkan!” Kalimat ini menjadi kata penutup rangkaian kisah hidup seorang intelektual sejati, filsuf dan sang pengembara (a flying doctor). Beliau telah memberikan inspirasi kepada kita bahwa materi yang melimpah belumlah menjamin suatu kebahagiaan dalam hidup. Dan kebahagiaan itu adalah suatu pilihan hidup, Wittgestein telah mengajarkan semuanya itu kepada kita.
 B. Filosof yang Mempengaruhi Pemikiran Ludwig Wttgenstein
Filsafat merupakan wadah pergumulan ide yang seringkali ditandai oleh perjumpaan dan babak pertarungan ide-ide besar. Ide tertentu seringkali merupakan tanggapan terhadap ide yang lain entah dalam rupa afirmasi, negasi atau kombinasi ide-ide yang lain. Dengan ini filsafat menghadirkan kontinuitas dan diskontinuitas gagasan-gagasan filosofis dari yang pernah ada menjadi sekarang ada atau sebaliknya. Sering terjadi bahwa gagasan yang satu merupakan kelanjutan dari gagasan yang lain atau sebaliknya gagasan yang satu merupakan penyangkalan atas gagasan yang lain. Karena itu, dalam mempelajari gagasan seorang filosof, gagasan filosofis pendahulunya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sejumlah filosof yang mempengaruhi  pemikiran Ludwig Wittgenstein antara lain: Betrand Russell, F.L.Gottlob Frege, , G.E. moore
1.  A. W. Bertrand Russell (1872-1970)
Filosof Inggris Betrand Russell memiliki pengaruh sangat kuat terhadap perkembangan pemikiran filsafat Wittgenstein terutama dalam karya Tractatus Logico Philosophicus. Hal ini dapat dipahami karena secara biografis ketika Wittgenstein belajar di Cambridge Russell adalah tokoh yang sangat dikagumi Wittgenstein. Beliau pernah menjadi murid Russell dan  partner diskusi yang kemudian secara bersama-sama mengembangkan atomisme logis dalam tradisi filsafat Inggris. Russell pada tahun 1924 menerbitkan  artikelnya berjudul Contemporary British Philosophy yang mengembangkan aliran atomisme logis, sedangkan Wittgenstein  dengan Tractatus Logico Philosophicus   merupakan puncak paham atomisme logis yang dipelopori oleh Russell tersebut. Dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip filosofis yang dikembangkan oleh kedua filsuf ini hampir mirip walaupun dalam beberapa pandangan terlihat adanya perbedaan kecil terutama dalam hal peristilahan. Keakraban Wittgenstein dan Russell ditunjukan pula lewat penulisan kata pengantar Tractatus Logico Philosophicus oleh Russell.
Russell menguraikan filsafat atomisme logis bertolak dari prinsip isomorfi, yaitu kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan struktur logis realitas dunia. Pengetahuan manusia merupakan pernyataan-pernyataan yang tersusun berdasarkan suatu sistem logis dan terungkapkan melalui bahasa yang menunjuk kepada suatu entitas atau unsur pada realitas dunia. Dengan kata lain ada kesamaan antara struktur dunia fakta atau realitas dan dunia kata,  antara unsur realitas dan unsur bahasa. Oleh karena itu, proposisi-proposisi yang ada sebenarnya memiliki referensi pada dunia kenyataan. Melalui jalan analisis terhadap sebuah proposisi, niscaya akan ditemukan proposisi-proposisi atomis yang mana proposisi atomis ini memiliki kesepadanan dengan unsur terkecil dunia fakta (fakta atomis). Proposisi atomis ini dinamakan Russel sebagai Logical proper name (nama diri yang logis).
Dengan demikian, struktur logis bahasa menunjukkan suatu susunan yang terdiri atas satuan-satuan bahasa yang mengacu pada satuan-satuan entitas karena struktur logis bahasa menunjukkan struktur logis dunia. Dalam hal ini logical proper name merupakan suatu deskripsi minimal yang mengacu pada acuan tunggal atau referensi tunggal kenyataan. Namun logical proper name ini bukanlah nama dalam arti nama seseorang atau nama sebuah benda akan tetapi merupakan suatu deskripsi minimal yang memiliki referensi tunggal pada kenyataan. Deskripsi minimal itu dijelaskan Russell dengan memetakan referensi tunggal dalam tiga komponen. Pertama, nama diri misalnya: Royhan, Yogyakarta, Merapi; Kedua, kata-kata deketik misalnya: (kata penunjuk) ini, itu, (kata keterangan) nanti, tadi, kemarin, (kata ganti orang) aku, dia, mereka. Ketiga, deskripsi penunggal misalnya Juara bulu tangkis, kota pelajar, wedhus gembel. Contohnya: proposisi ”Royhan adalah juara bulutangkis” dapat dipetakan dalam nama-nama diri yang logis: ”Royhan” (nama diri), ”adalah” (kata deiktik) dan ”juara bulutangkis” (deskripsi penunggal). Pemetaan proposisi seperti ini merupakan penjelasan gagasan atomisme logis Russell.
Pemikiran Russell ini memiliki kemiripan dan pengaruh terhadap pemikiran Wittgenstein. Keduanya sama-sama mengakui adanya kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Russell menyebut kesesuaian ini sebagai isomorfi sedangkan Wittgenstein mendefinisikannya dalam picture theory (teori gambar). Struktur kesesuaian tersebut didasarkan pada formulasi logika sehingga satuan bahasa yang terkecil disebut sebagai proposisi dan proposisi tersebut melukiskan data indrawi; dalam pemikiran ini baik Russell maupun Wittgenstein memiliki kesamaan. Proposisi tersusun atas unsur-unsur atomis bahasa yang menurut Wittgenstein berhubungan dengan nama atau primitive name, sedangkan Russell mengistilahkannya dengan logical proper name. Konsep logika bahasa Wittgenstein dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan Russell.
2.  F. L. Gottlob Frege (1848-1925)
Gottlob Frege adalah seorang ahli matematika dan logika simbolik asal Jerman yang banyak mempengaruhi Wittgenstein untuk mempelajari filsafat. Frege juga dikenal sebagai partner diskusi Wittgenstein ketika menyusun naskah Tractatus, di mana Frege sering diminta Wittgenstein untuk memberi koreksi, saran dan kritik terhadap kopian naskah Tractatus Logico Philosophicus pra-publikasi. Dalam sejarah filsafat, Frege diakui sebagai seorang yang telah meletakkan dasar-dasar filsafat bahasa modern (filsafat analitika) dan struktur logika simbolik yang bereferensi pada prinsip-prinsip matematis. Beliau adalah seorang yang memulai revolusi pemikiran di bidang filsafat bahasa dengan penekanan pada logika bahasa.  
Konsep pemikiran logika Frege memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemikiran Wittgenstein, baik segi epistemologi maupun ontologi, terutama berkaitan erat dengan teori gambar dan logika bahasa. Salah satu ide Frege yang berpengaruh terhadap pemikiran Wittgenstein adalah tentang perbedaan antara arti proposisi dengan acuannya. Frege menegaskan bahwa satu proposisi memiliki makna hanya apabila mengacu pada realitas dunia empiris. Konsep ini secara epistemologi dikembangkan oleh Wittgenstein dalam Tractatus Logico Philosophicus, Beliau menjelaskan bahwa bahasa yang tersusun dalam satu proposisi adalah menggambarkan suatu realitas dunia empiris. Proposisi yang menggambarkan realitas itu merupakan gambaran logis.
Dalam pandangan Frege, logika merupakan dasar bagi filsafat. Dia berkeyakinan bahwa sesungguhnya bahasa itu dapat diredusir dalam logika dan logika itu dapat diredusir dalam matematika. Menurutnya, langkah-langkah deduktif yang jelas akan dapat mengungkapkan realitas dunia secara obyekif dan dengan logika yang tepat akan dapat dikembangkan cara pengungkapan makna linguistik secara keseluruhan. Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengatakan bahwa proposisi hanya memiliki makna apabila mempunyai arti dan sekaligus acuan. Baginya, suatu proposisi hanya memiliki makna jika proposisi tersebut mengacu pada realitas dunia empiris. Pemikiran ini kemudian dikembangkan Wittgenstein dalam teori gambar. Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi adalah gambaran realitas dunia empiris atau dengan kata lain proposisi mengacu pada realitas fakta.
Frege juga mengembangkan metode pengungkapan makna linguistik dengan menggunakan simbol-simbol logika. Menurut Frege, setiap proposisi dapat dipetakan dalam rupa simbol-simbol logis. Simbol-simbol logis ini merupakan unsur esensial proposisi yang memberikan pemahaman distingtif dan jelas tentang proposisi. Dalam hal ini Beliau mengembangkan suatu konsep notasi untuk mengartikulasikan proposisi dengan menggunakan satuan-satuan simbolis berbasis prinsip logika. Misalnya proposisi ”Nabila adalah mahasiswa S3” dapat dipetakan dalam simbol a=b, di mana notasi a mengacu pada Nabila, b mengacu pada mahasiswa S3 dan tanda = mengacu pada kata adalah. Contoh lainnya adalah ”Happy berdiri di samping tangga” dapat dipetakan dalam simbol aRb, di mana notasi a mengacu pada Happy, b mengacu pada tangga dan R menjelaskan relasi antara Happy dan tangga. Dalam kerangka ini Frege juga menggunakan satuan kuantitas (angkat-angka) sebagai tanda untuk memetakan unsur simbolis-logis proposisi-proposisi. Misalnya, proposisi ”Nabila adalah mahasiswa S3 yang cerdas” dapat dipetakan dalam simbol 2(a=b) di mana angka 2 dipakai untuk menjelaskan adanya dua proposisi identis yaitu: Nabila adalah mahasiswa S3 (a=b) dan Nabila mahasiswa yang cerdas (a=b). Penentuan satuan kuantitas seperti ini terimplikasi secara cermat dalam Tractatus Logico Pilosophicus, baik menyangkut konsep logika bahasa maupun notasi (penomoran). Sistem penguraian yang dikembangkan Wittgenstein dalam Tractatus Logico Pilosophicus dengan menggunakan notasi angka desimal untuk menjelaskan susunan logis dari pemikiran tersebut dalam pengertian tertentu merupakan aplikasi gagasan Gottlob Frege.
3.  G. E. Moore (1873-1958)
Filosof lain yang banyak mempengaruhi pemikiran Wittgenstein adalah G.E.Moore, Beliau adalah seorang tokoh filsafat analitik yang kerap dijuluki sebagai the founder of analitical philosophy. Moore menyatakan  bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis yang tepat tentang konsep atau proposisi dengan menyatakan secara jelas dan tepat apa yang dimaksudkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat. Ia mendasarkan analisis atas filsafat berdasarkan common sense.  Atas dasar common sense ini Moore berusaha mengajak orang untuk menyadari bahwa ungkapan-ungkapan metafisis itu merupakan tipuan belaka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat, karena akal sehat tidak bisa sampai pada pengetahuan apakah hal-hal metafisis ada atau tidak ada. Dengan ini Beliau melancarkan kritik keras terhadap aliran filsafat idealisme yang berkembang pesat di Inggris saat itu di bawah pengaruh F. Bradley dan J. M. Mc Taggart. Dalam karyanya refutation of Idealism, Beliau menunjukkan bahwa titik utama kelemahan filsafat Idealisme terlihat jelas pada pernyataan filsafat mereka yang tidak didasarkan atas logika sehingga tidak terpahami oleh common sense (akal sehat).
Kritik Moore ini berhasil menghapus bayang-bayang kebesaran kaum idealisme sekaligus menjadi titik awal pertumbuhan gerakan yang dikenal dengan istilah Analytical philosophy atau Linguistic Analysis atau Logical Analysis. Tetapi filsafat analitik yang dibangun Moore berbeda dengan Russell. Moore mendasarkan analisis filosofisnya atas bahasa biasa sehari-hari (ordinary language) bukan atas konsep-konsep filosofis yang tertata secara logis dalam rangkaian proposisi atomis sebagaimana Russell dan Wittgenstein I. Russell dan Wittgenstein I/ Tractatus Logico Pilosophicus tidak menyetujui penggunaan bahasa sehari-hari dalam filsafat karena menurut mereka, bahasa sehari-hari itu tidak memadai untuk bahasa filsafat karena mengandung banyak kelemahan antara lain kekaburan, makna ganda dan bersifat kontekstualistis atau tergantung pada konteks. Singkatnya Russell dan Wittgenstein menolak bahasa sehari-hari karena mengandung banyak kekeliruan. Analisis bahasa seperti ini diterapkan Moore dalam Principia Ethica yang berusaha menyelidiki arti dari istilah-istilah etika. Menurut Moore, di dalam masyarakat telah berkembang apa yang disebut dengan naturalistic fallacy, yaitu sebuah bentuk reduksionisme yang mencoba mengidentifikasikan sesuatu yang baik (good) dengan salah satu kenyataan fisik ataupun metafisik misalnya baik  didefinisikan sebagai yang menyenangkan (pleasure). Moore tidak sependapat dengan pendefinisian seperti itu karena dua alasan. Pertama, kalau seandainya baik dan menyenangkan itu sama artinya, maka akan timbul masalah tentang bagaimana sesuatu yang menyenangkan tetapi tidak baik sebab dalam kenyataannya hal itu sering terjadi. Kedua, kalau seandainya pengertian baik dan menyenangkan sama artinya maka pertanyaan ”apakah yang menyenangkan itu baik?” seharusnya sama artinya juga dengan pertanyaan ”apakah yang baik itu baik?” dalam kedua pertanyaan ini menurut Moore, pertanyaan pertama itu benar-benar memiliki arti tetapi tidak setara dengan pertanyaan kedua sebab kata baik tidak mungkin diasalkan kepada sesuatu yang lebih jelas lagi. Kata baik tidak terdiri atas bagian-bagian sehingga menyamakan arti kata baik dengan salah satu keadaan tertentu merupakan sebuah kekeliruan naturalistik.
Dalam teori Wittgenstein, dikenal adanyanama” yang merupakan komponen paling mendasar sekaligus paling akhir dari sebuah analisis terhadap proposisi. Nama ini tidak dapat didefinisikan lagi dan merupakan unsur atomis sebuah proposisi. Nama merupakan komponen pembentuk proposisi yang sudah jelas dengan sendirinya sehingga kepadanya tidak dapat diasalkan sesuatu yang lain. Dalam pengertian ini, kita dapat melihat korelasi antara analisis kata ”baik” Moore dalam ranah etika praktis dan arti nama dalam filsafat analitis Wittgenstein. Istilah ’baik’ menurut Moore merupakan sesuatu yang sudah jelas dengan sendirinya, tidak terbagi dan tidak dapat didefinisikan lagi. Dalam hal ini, kata baik dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk nama dalam filsafat analitis Wittgenstein.
Wittgenstein mengembangkan filsafat analitik yang telah digagas awal oleh Moore. Baik Moore maupun Wittgenstein sama-sama berpandangan bahwa tugas pokok filsafat adalah melakukan suatu analisis. Karenanya, Moore dan Wittgenstein sama-sama mendasarkan filsafatnya pada analitika bahasa. Perbedaannya, jika Moore melakukan analisis terhadap bahasa biasa (ordinary language), Wittgenstein pada periode I/ Tractatus Logico Pilosophicus mempraktekkan analisis untuk mencari kebenaran atas realitas dunia berdasarkan atom-atom logis. Moore melakukan penjelasan melalui common sense dan lebih banyak membahas masalah-masalah bidang etika sedangkan Wittgenstein I/ Tractatus Logico Pilosophicus melakukan analisis untuk suatu kebenaran dengan mengembangkan bahasa ideal sesuai struktur logika. Bagi Moore, common sense merupakan dasar kebenaran dan akal sehatlah yang akan melihat kebenaran realitas dunia itu. Bagi Wittgenstein, sesuai dengan teori gambar, kebenaran realitas itu dapat terungkap lewat jalan analisis proposisi. Karena realitas dunia itu dapat digambarkan melalui bahasa, maka struktur logis dunia pun dapat terungkap melalui struktur logis bahasa. Dalam Wittgenstein II/Philosophical Investigations, Wittgenstein mengikuti jejak Moore yang melakukan analisis terhadap bahasa biasa sehari-hari (ordinary language). Melalui language game, Wittgenstein II/ Philosophical Investigations mengungkapkan bahwa dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan ordinary language dalam berbagai konteks dan aktivitas yang masing-masing menggunakan aturan-aturan tertentu.
C. Pemikiran dan Karya Ludwig Wittgenstein
Pemikiran filsafat Wittgenstein merupakan karya puncak dari gerakan filsafat analistis, yang dipelopori oleh G.E. Moore. Wittgenstein mengembangkan filsafatnya disebabkan adanya kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat, terutama yang dilakukan oleh kalangan idealism Inggris, seperti Bradley dan Taggart (Kaelan, 2004 : 28). Sejalan dengan Moore dan Russell, Wittgenstein juga menyatakan bahwa analitika bahasa merupakan suatu metode yang paling memadai di samping metode-metode lainnya. Filsafat menurut Wittgenstein hanya dapat  sebagai suatu metodologi, yaitu critique of language atau analitika bahasa. Filsafat tidak memiliki objek formal tersendiri melainkan hanya menjelaskan apa yang telah diketahui dengan menggunakan sarana, yaitu bahasa. Melalui filsafat analitika bahasa, Wittgenstein memperkenalkan suatu paradigm baru dalam pemikiran filsafat dengan mengembangkan perspektif epistemologi yang mendasarkan pada analisis logika bahasa.
Wittgenstein telah melahirkan dua karya yang sangat monumental, yaitu Tracatus Logico philosophicus dan Philosophical investigations. Karena karya yang kedua itu agak kontrofersial dengan karya yang pertama, yaitu dengan cara menisbikan pemikiran pada karyanya yang pertama. Hal ini oleh Delfgraauw dianalogkan seperti seorang yang menaiki tangga, dan setelah sampai di atas barulah Beliau memperoleh kebenaran. Berkaitan dengan hal tersebut banyak penulis membedakan pemikiran Wittgenstein itu kedalam dua periode, yaitu periode I (Tracatus Logico philosophicus) dan periode II (Philosophical investigations).
1. Periode I ( Tractatus Logico Philosophicus)
Tractatus Logico Philosophicus adalah sebuah karya filsafat Wittgenstein yang banyak dipengaruhi oleh gurunya yaitu Russell dan Frege.  Wittgenstein dan Russell bersama-sama mengembangkan suatu pemikiran baru yaitu filsafat analitis yang mendasarkan pada logika dan bahasa yang ideal. Keduanya mengembangkan aliran yang menekankan pada peranan analisis logika yaitu atomisme logis.
Tracatus Logico philosophicus merupakan sebuah naskah yang singkat, padat karena hanya terdiri dari 75 halaman dengan pengantar dari Russell. Sistem penguraian karya filsafat ini sangat khas-unik yaitu ditampilkan dalam bentuk beberapa rangkaian proposisi yang secara sistematis menunjukkan urutan logis serta prioritas logis dari proposisi tersebut. Penguraian proposisi-proposisi dilakukan dengan cara pemberian nomor urut secara desimal. Sesuai dengan prinsip analitika bahasa, proposisi yang diberi nomor dengan angka bulat merupakan pangkal urai sedangkan proposisi yang diberi nomor dengan angka desimal adalah merupakan pengurai. Misalnya 1.1 dan 1.2 merupakan pengurai dari proposisi 1 begitu pula 2.1 dan 2.2 merupakan pengurai dari proposisi 2. Proposisi pengurai ini jika masih memerlukan suatu penguraian lagi maka diberi notasi lanjutan angka desimal berikutnya.
Di bawah ini, kami ingin menyajikan beberapa pengertian penting filsafat Wittgenstein yang tertuang dalam karya Tracatus Logico philosophicus.
a.                  Realitas Dunia
Salah satu uraiannya yang merupakan unsur yang sangat fundamental bahkan merupakan suatu dasar ontologis Tracatus Logico philosophicus  adalah konsepnya tentang realitas dunia yang dilukiskan melalui bahasa. Tesis Wittgenstein yang diuraikan dalam Tracatus Logico philosophicus, secara rinci sebagai berikut :
1.             The world is everything that is the case
1.1.       The world is the totality of fact not of things
1.2.    The world devides into facts
2.       What is the case, a fact is the existence of states of affairs (Wittgenstein, 2004)
Karena itu hakekat dunia menurut Wittgenstein adalah semua hal yang hakekatnya merupakan suatu kasus, dunia adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukan dari benda-benda dan dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta serta apa yang merupakan kenyataan yang sedemikian itu, sebuah fakta adalah merupakan keberadaan suatu peristiwa. Dengan demikian dunia sebagai suatu realitas sebagaimana kita lihat dan kita alami. Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukannya totalitas dari benda-benda. Dunia itu bukanlah terdiri dari benda-benda yang hanya merupakan penjumlahaan atau benda-benda itu bukanlah bahan dunia melainkan obyek-obyek yang merupakan substansi dunia. Yang dimaksud dengan fakta menurut Witgenstein adalah suatu keberadaan peristiwa (state of affairs), bagaimana objek-objek itu terhubungkan satu dengan lainnya.
b. Proposisi
Proporsi ditinjau berdasarkan wujudnya merupakan suatu ungkapan, suatu artikulasi kata-kata (Wittgenstein, 2004 :3.142) Proposisi merupakan sebuah bentuk pengungkapan realitas empiris atau yang dipersepsi  ke dalam bentuk logis, sehingga bentuk pengungkapan tersebut atau proposisi menggambarkan realitas dunia secara logis. Wittgenstein berkeyakinan bahwa setiap proposisi tersusun atas sejumlah proposisi elementer. Proposisi elementer ini pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan sederhana yang menggambarkan suatu keadaan peristiwa (state of affairs). Karena suatu keadaan peristiwa  terdiri atas sejumlah fakta atomis, maka proposisi elementer sebenarnya menegaskan keadaan suatu fakta atomis. Dalam hal ini realitas dunia diproyeksikan dalam proposisi. Konsekuensinya, jika proposisi elementer benar maka fakta atomik itu berada, tetapi jika proposisi elementer salah maka fakta atomik tidak berada. Karena itu, suatu proposisi elementer tidak bisa sekaligus mengandung di dalamnya benar dan salah, melainkan hanya satu kemungkinan benar atau salah. Wittgenstein menyebut keberadaan fakta atomik ini sebagai positif dan ketidak beradaan fakta atomik sebagai negatif.
Karena proposisi mengungkapkan keadaan peristiwa dan merupakan gambaran logis dari realitas dunia, maka proposisi bukanlah sekedar penggabungan kata-kata. Wittgenstein menganalogikan hal ini dengan perbandingan dalam dunia musik di mana musik itu bukan sekedar penggabungan nada-nada. Proposisi adalah artikulasi (pengungkapan). Hal ini yang membedakan proposisi dengan kalimat. Kalimat adalah sebuah rangkaian gramatis kata-kata dalam bahasa tertentu, entah secara tertulis maupun lisan yang diungkapkan pada waktu dan tempat tertentu. Kalimat lebih menekankan struktur gramatis sedangkan proposisi menekankan kandungan makna yang terungkapkan. Kalimat berbeda dari proposisi karena kalimat lebih memperhatikan bentuk, struktur penggabungan kata sedangkan proposisi lebih memperhatikan konsep, gagasan, ide-ide tanpa mengabaikan struktur penggabungan kata tersebut.
Menurut Wittgenstein, proposisi elementer terdiri atas nama-nama. Proposisi itu adalah suatu hubungan atau rangkaian dari nama-nama. Nama adalah tanda yang sederhana. Dalam pengertian Wittgenstein, nama merujuk pada suatu obyek dan menghadirkan obyek tersebut dalam bentuk simbolis. Karena itu nama merupakan sebuah simbol sederhana dan ditunjukkan dengan huruf tunggal seperti (x,y,z). Wittgenstein menyebut simbol-simbol ini sebagai tanda primitif yaitu tanda yang tidak dapat didefinisikan lagi Proposisi elementer ditulis sebagai bentuk rangkaian nama misalnya ’fx’, ’φ(x.y)’ atau disimbolkan dengan huruf p,q,r. Untuk menjelaskan suatu situasi yang bersifat kompleks digunakan berbagai tanda simbolis sehingga proposisi merupakan suatu sistem pengertian logis-simbolis. Misalnya ”jika hujan, tanah basah” dapat dianalasis jika p, maka q dan disimbolkan dengan p q.
Nama dalam pemahaman Wittgenstein berbeda dengan nama sebagaimana yang digunakan untuk nama orang, benda atau obyek-obyek tertentu. Nama berarti obyek. Nama menggambarkan obyek. Rangkaian obyek-obyek itu dinamakan fakta atomis. Rangkaian nama itu disebut proposisi elementer. Karena itu proposisi elementer menggambarkan fakta atomis. Gabungan dari beberapa fakta atomis membentuk keadaan peristiwa, gabungan beberapa proposisi elementer membentuk proposisi sehingga suatu proposisi menggambarkan suatu keadaan peristiwa. Akhirnya, Totalitas dari proposisi adalah bahasa. Totalitas dari keadaan peristiwa adalah dunia.
c. Teori Gambar (Picture Theory)
Teori gambar merupakan salah satu hal yang sangat penting pada karya Wittgenstein yang pertama. Karena itu dapat dikatakan bahwa Tractatus logico philosophicus dibangun atas dua basis pemikiran yaitu tentang hakekat realitas dunia dan hakekat bahasa yang dijembatani dengan teori gambar.  Bahasa itu pada prinsipnya menggambarkan realitas dunia. Wittgenstein berpendapat bahwa hakikat makna bahasa, tidak lain merupakan suatu penggambaran realitas dunia fakta yang diletakan dalam struktur logika. Prinsip inilah yang khas bagi pemikiran Wittgenstein ketika menjelaskan realitas dunia fakta bukan berdasarkan prinsip ontologis-metafisis tetapi berdasarkan struktur logika. Bahasa merepresentasikan realitas dunia karena itu konstruksi bahasa tidak lain juga merupakan (atau menggambarkan) konstruksi dunia. Hal itu dicontohkan Wittgenstein dengan memakai analogi dari bidang musik yaitu tentang relasi antara rekaman gramofon, naluri musik, catatan notasi dan penampilan suara darinya. Menurutnya, ada aturan umum pada nada musik dari suatu simfoni yang tertata pada lembaran notasi musik yang memungkinkannya untuk menghadirkan simfoni tersebut dalam suatu bunyi musik yang harmonis. Aturan yang ada dalam musik merupakan suatu hukum dari proyeksi, yang memproyeksikan simfoni notasi musik dalam harmoni suara. Dengan analogi itu, Wittgenstein memaksudkan bahasa sebagai proyeksi dari realitas dunia.
Berdasarkan doktrin teori gambar yang diungkapkan dalam Tractatus, terdapat beberapa prinsip yang mesti diperhatikan yaitu sebagai berikut:
1) Bagian yang terdapat dalam suatu proposisi, harus secara tepat sebanyak bagian yang ada pada realitas yang diwakilinya
Proposisi sebagai suatu gambar dari suatu realitas dunia fakta, di dalamnya harus terdapat secara tepat bagian sebanyak bagian yang terdapat dalam realitas yang diwakilinya. Wittgenstein menggunakan teori mekanika Heinrich Hertz untuk menggambarkan model dinamis pada sistem mekanik yang memiliki hubungan secara tepat sama seperti hubungan antara gambar dan model dinamis. Hubungan ini analog menjelaskan kesesuaian antara pikiran dengan realitas. Proposisi merupakan gambaran realitas karena itu apa yang terdapat dalam realitas harus secara tepat dinyatakan dalam proposisi. Bagian-bagian dalam realitas harus berbanding lurus dengan bagian-bagian yang dijelaskan dalam realitas. Dalam hal ini proposisi membeberkan realitas secara gamblang dalam setiap inci bidangnya.  My.opera.com/nyocor/blog/show/dml/mengenal Ludwig Wittgenstein dan pemikirannya, diakses pada tanggal 5 November 2010.
2) Suatu proposisi merupakan suatu model dari kenyataan sebagaimana digambarkan secara logis.
Proposisi adalah suatu proyeksi dari suatu realitas yang digambarkan. Hal itu nampaknya berkaitan dengan tanda yang dapat dipersepsi (perceptible sign) yang dikatakannya memproyeksikan suatu keadaan peristiwa. Metode proyeksi ini adalah memikirkan pengertian dari proposisi sehingga proposisi tersebut menggambarkan realitas secara logis. Yang terpenting adalah bahwa gambaran realitas dalam proposisi itu dipahami sebagai gambaran logis. Gambar ini adalah gambar logika Ada struktur yang “tegak lurus” antara pikiran yang diungkapkan dalam proposisi dan realitas yang dibahasakan dalam proposisi itu. Pikiran ini melihat korelasi antara struktur bahasa (proposisi) dan struktur dunia realitas. Oleh karena itu, proposisi sebagai gambaran realitas dapat dipahami secara positif maupun negatif. Hal ini bukan berarti bahwa pengertian “positif” dan “negatif” itu secara bersama-sama ada dalam proposisi tetapi sebaliknya bersifat kondisional. Proposisi itu dikatakan positif jika proposisi itu ada dan menggambarkan keadaan peristiwa, proposisi itu dikatakan negatif jika keadaan peristiwa yang dirujuk proposisi itu tidak ada. Dengan mengatakan hal ini, Wittgenstein menilai bahwa proposisi yang bernilai negatif itu tidak bermakna karena tidak menggambarkan apa-apa dalam realitas. Dengan perkataan lain bahwa proposisi tersebut tidak memberikan ruang logika bagi realitas objek.
3) Satu nama mewakili satu objek dan objek yang berupa benda-benda itu digabung satu dan lainnya. Dengan cara ini keseluruhan kelompok menyajikan suatu keadaan peristiwa tertentu
Suatu proposisi elementer merupakan rangkaian nama-nama, hal ini berkaitan dengan bagaimana nama-nama itu menyatakan suatu fakta atomis yang terdiri atas objek-objek. Suatu fakta atomis merupakan rangkaian objek-objek, karena itu nama menggambarkan objek sehingga dapat dikatakan bahwa rangkaian objek-objek digambarkan dalam rangkaian nama-nama. Karena proposisi elementer merupakan rangkaian nama-nama, maka proposisi elementer menggambarkan fakta atomis. Beberapa proposisi elementer membentuk proposisi, beberapa fakta atomis membentuk keadaan peristiwa. Karena itu proposisi menggambarkan keadaan peristiwa. Proposisi ini merupakan unsur terpenting bahasa, keadaan peristiwa merupakan unsur realitas dunia karena itu bahasa menggambarkan realitas dunia.
Wittgenstein menjelaskan bahwa elemen-elemen fakta yang digambarkan itu terkait satu sama lain dengan cara tertentu. Suatu gambar adalah suatu fakta karena itu gambar memrepresentasikan fakta. Ada hubungan representatif antara proposisi dan fakta, antara apa yang digambarkan dengan apa yang dijadikan gambar. Gambar adalah proposisi dan pada suatu gambar, unsur-unsur dari gambar berhubungan satu sama lainnya seperti hubungan antara fakta-fakta dalam suatu keadaan peristiwa. Proposisi elementer itu bukanlah serangkaian nama belaka melainkan terkait dan tersusun secara sedemikian rupa berdasarkan struktur tertentu. Struktur tersebut adalah struktur logika. Begitu pula keadaan peristiwa itu bukanlah kumpulan beberapa fakta atomis belaka tetapi terkait dan tersusun sedemikian rupa berdasarkan struktur tertentu. Wittgenstein mengatakan struktur ini sebagai struktur logis, dunia tersusun secara logis.
4) Proposisi adalah suatu gambar perwakilan pasti dan mencakup suatu hubungan pictorial
Proposisi sebagai suatu gambaran realitas bukanlah merupakan suatu gambar biasa melainkan suatu gambar perwakilan pasti. Hal ini berarti unsur-unsur proposisi secara pasti menggambarkan unsur-unsur realitas. Seperti dijelaskan di atas, korelasi antara gambar (proposisi) dengan realitas empiris merupakan sesuatu yang bersifat terkait dan tersusun secara logis dan karena itu bersifat pasti. Poin ini menjelaskan identifikasi gambar dan realitas. Gambar adalah realitas. Proposisi menggambarkan realitas karena itu proposisi itu secara tepat dan pasti mengungkapkan realitas. Proposisi merupakan suatu perwakilan pasti karena tanpanya tanda-tanda (proposisi) tersebut tidak merupakan suatu gambar realitas. Gambar perwakilan pasti mewakili objek secara pasti sehingga tidak terjadi putusan logika yang menyimpang. Karena itu gambar dalam pengertian ini bukan merupakan gambar harafiah atau bahkan gambar kiasan tetapi merupakan gambar logika. Hal ini didasarkan pada doktrinnya bahwa  semua proposisi adalah fungsi kebenaran dari proposisi elementer.
d. Logika Bahasa
Menurut Wittgenstein persoalan filsafat timbul karena para filosof terdahulu dalam memecahkan problema-problema logika bahasa, oleh karena itu Wittgenstein mengkritik dengan tajam melalui kalimat “apa yang dapat dikatakan sama sekali dapat dikatakan secara jelas, dan apa yang tak dapat dikatakan maka orang harus diam” (Bertens, 1981 : 43). Karena itu penggunaan bahasa dalam analisis teori-teori filsafat harus mampu mengungkap secara obyektif fakta tentang dunia, dan hal ini harus dilakukan dengan menggunakan bahasa dengan berdasarkan asas-asas logika, sehingga perlu dikembangkan bahasa yang ideal yang memenuhi asas-asas logika. Unsur-unsur logis yang tergambar melalui bahasa terwujudkan dalam suatu proposisi, sehingga totalitas dari proposisi tersebut pada hakekatnya adalah bahasa. Melalui karyanya dimaksudkan sebagai upaya untuk memecahkan kekaburan dalam penggunaan bahasa dalam konsep-konsep filsafat, sebagaimana tercermin dalam teori gambar bahwa realitas dunia dijelaskan melalui bahasa pada hakekatnya merupakan penggambaran dunia yang diletakkan dalam ruang logika. Konsekuensinya struktur logika bahasa  juga menggambarkan struktur logis dunia.
2. Periode II (Philosophical Investigations)
Setelah karyanya Tractatus Logico Philosophicus, Wittgenstein tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929. Pada masa ini ia aktif memberikan kuliah dan ceramah sehingga beberapa kelompok mahasiswa tertarik untuk membukukan karya beliau. Ia juga sedang mempersiapkan secara bertahap karya besarnya yang kedua Philosophical Investigations dengan bantuan beberapa mahasiswanya. Bagian pertama buku tersebut merupakan bagian luas yang diselesaikan sendiri oleh Wittgenstein, sedangkan bagian kedua ditampilkan dengan gaya dan susunan yang berbeda dan diselesaikan oleh dua orang mahasiswanya G. Ascombe dan Rush Rhees. Kedua murid inilah yang kemudian menerbitkan buku tersebut setelah kematian Wittgenstein. Philosophical Investigations yang diterbitkan pada tahun 1953 merupakan karya filsafat yang unik bahkan ditampilkan secara berbeda dengan karya-karya filsafat lainnya termasuk Tractatus. Bagian pertama buku itu terdiri atas sejumlah paragraf dan diberi penomoran 1 sampai 693 yang diuraikan secara deskriptif dan sistematis. Sedangkan bagian kedua diuraikan dengan tanpa memberikan nomor pada setiap paragrafnya (Kaelan, 2004 : 11)
Karya kedua ini dikembangkan dengan orientasi dasar analisis baru sehingga dalam berbagai uraiannya ia mengkritik beberapa tesis dalam karya pertama terutama yang berkaitan dengan ide utopisnya tentang bahasa ideal yang sarat dengan formulasi logika. Melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein mengembangkan paradigma baru dalam filsafat analitik yang mendasarkan analisis pada ordinary language yaitu dengan menekankan aspek-aspek permainan bahasa (language game). Dalam hal ini, filsafat analitis menyesuaikan diri dengan pandangan yang menekankan bahwa bahasa memiliki keanekaragaman bentuk dan fungsi dalam kehidupan manusia sehingga penggunaan bahasa dikondisikan oleh aturan penggunaannya. Atas dasar ini, tidak mengherankan jika karya Philosophical Investigations memuat banyak contoh konkret, praktis, riil dan kadang imajiner dengan intensi dasar agar pembaca dapat memahami makna bahasa dalam keanekaragaman bentuk penggunaannya. Dalam karya ini, Wittgenstein menepis adanya bahasa universal yaitu sebuah bahasa yang merangkum segala bahasa berdasarkan aturan-aturan logika. Sebagai gantinya mengembangkan teori tentang adanya bahasa khusus (private language) yang menjelaskan keberanekaragaman pola penggunaan bahasa. Karena itu dalam karya ini, Wittgenstein tidak memungkiri bahasa metafisis, teologi dan etika tetapi menegaskan bahwa bahasa-bahasa tersebut merupakan salah satu dari ragam bahasa yang khusus: salah satu model permainan bahasa dalam kehidupan manusia.
Dalam bagian ini, penulis ingin menyajikan beberapa pengertian penting filsafat Wittgenstein yang tertuang dalam karya keduanya ini. Ada beberapa topik penting yang dapat dijadikan kerangka pikir untuk mendalami perubahan filosofis dan pemikiran kritis Wittgenstein terhadap karya periode pertamanya.
a.  Bahasa Sehari-hari (ordinary language)
Dalam Philosopical investigations , perhatian utama Wittgenstein tidak lagi dipusatkan pada ikhtiar membangun satu bahasa ideal  atau bahasa logika untuk dijadikan fondasi dalam  berbahasa. Ia kembali  pada bahasa sehari-hari sebagaimana yang dilakukan oleh Moore, yang memuat common sense pada seluruh konteks bahasa  yang digunakan oleh seluruh umat manusia di dunia. Konskuensinya pemakaian suatu istilah atau ungkapan ditentukan oleh penggunaannya dalam bahasa sehari-hari di dalam kehidupan manusia yang beragam dan kompleks.
Beliau menyadari bahwa bahasa yang diformulasikan melalui logika sebenarnya tidak secara niscaya dapat dikembangkan dalam filsafat. Alasannya adalah bahwa bahasa tidak saja digunakan untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis tetapi juga digunakan dalam dan untuk berbagai hal yang berbeda-beda. Dari segi pragmatik, Wittgenstein memastikan bahwa terdapat keranekaragaman bentuk, cara dan konteks penggunaan bahasa yang menyulitkan upaya untuk mengasalkan berbagai keanekaragaman ini pada satu kriteria tertentu.
Philosophical Investigations tidak bertolak dari asumsi ontologis tentang hakikat “realitas dunia fakta dan bahasa”, tetapi menekankan ” refleksi kritis atau penyelidikan atas objek material bahasa”. Menurut Wittgenstein, bahasa sehari-hari telah cukup untuk menjelaskan masalah-masalah dalam filsafat. Anggapan ini didasarkan pada asumsi Wittgenstein tentang makna bahasa. Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat. Makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam kehidupan manusia yang bersifat beraneka ragam. Karena itu Wittgenstein menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu (meaning in use). Hal ini disampaikan Wittgenstein pada paragraf pertama  Philosophical Investigations melalui contoh yang diambil dari pengakuan Agustinus. Dalam contoh tersebut, Wittgenstein menampilkan berbagai unsur yang turut berperanan dalam tindakan berbahasa seseorang. Memahami bahasa berarti turut memperhitungkan berbagai unsur yang melekat pada bahasa yang digunakan.  Namun kelihatannya, upaya untuk memperoleh pemahaman komprehensif tentang bahasa akan menemui kesulitan jika disadari adanya keanekaragaman bentuk, cara dan konteks penggunaan bahasa. Dengan ini pemahaman terhadap bahasa berpeluang menjadi semakin kabur oleh karena memperhitungkan berbagai macam hal yang mempengaruhi tindakan berbahasa. Pertanyaan yang patut disampaikan di sini adalah apakah dalam pemikiran seperti ini analisis terhadap bahasa itu mungkin? Kalau pun mungkin, apakah metode yang relevan untuk digunakan dalam menganalisis makna bahasa dalam beragam penggunaannya tersebut?
Menurut Wittgenstein, manusia senantiasa terlibat dalam bahasa dan dalam penggunaan bahasa tersebut kendatipun beranekaragam tetap memiliki aturan tata bahasa tertentu. Karena itu penyelidikan terhadap penggunaan bahasa dapat dianalisis berdasarkan aturan tata bahasa tersebut. Wittgenstein menyebut penyelidikan semacam ini sebagai sebuah penyelidikan gramatikal. Ia menjelaskan bahwa penyelidikan gramatikal merupakan sebuah klarifikasi gramatikal terhadap penggunaan bahasa dengan intensi untuk memperlihatkan adanya suatu indikasi yang berlaku secara umum. Indikasi ini dapat dipandang sebagai sebuah kemiripan dari berbagai macam ragam penggunaan gramatis bahasa. Tujuan yang hendak dicapai dari penyelidikan gramatikal ini yaitu untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa dalam berbagai bidang kehidupan manusia serta spesifikasi yang memberikan karakter pada tiap ragam penggunaan dalam setiap konteks kehidupan. Dengan menempatkan bahasa dalam komponen-komponen yang terspesifikasi itu, pemahaman akan bahasa yang disampaikan menjadi jelas. Singkatnya penyelidikan gramatikal merupakan metode untuk mendapatkan kejelasan makna penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia. Apa yang dimaksudkan dengan bahasa sehari-hari dalam konteks ini tidak hanya merupakan bahasa lisan tetapi juga bahasa dalam wacana tulisan. Dengan demikian penyelidikan gramatikal dalam bahasa itu sangat penting untuk mendapatkan kejelasan makna penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia.
b.  Permainan Bahasa (language games)
Permainan bahasa merupakan konsep yang fundamental dalam Philosophical Investigation, seperti halnya teori gambar dalam Tractatus Logicus Philosophicus. Dalam upaya membuka kabut kesalahpahaman bahasa dalam filsafat, Wittgenstein berkeyakinan bahwa penyelidikan filosofis mesti dihantar pada konteks penggunaan bahasa dalam kalimat dan dalam hubungan antara kalimat itu dengan tindakan bahasa tertentu. Hal ini diyakini  karena pada suatu kalimat yang sama dapat memiliki kemungkinan penggunaan yang sangat berbeda tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan dalam konteks apa kalimat itu dipergunakan (Kaelan, 2004 : 132).
Hal ini diasumsikan oleh gagasan yang menyatakan bahwa setiap penggunaan bahasa memiliki aturan main tersendiri. Misalnya perintah untuk “membawa lima buah papan” berbeda dengan laporan “membawa lima buah papan”. Penggunaan kalimat “membawa lima buah papan” pada analisis tersebut, menggambarkan perbedaan makna dalam konteks penggunaan bahasa yang berbeda-beda oleh karena “aturan main” yang berbeda-beda. Wittgenstein berpendapat bahwa terdapat banyak permainan bahasa bahkan tak terhitung jumlahnya sehingga memiliki sifat yang sangat beragam dan kompleks misalnya melaporkan suatu kejadian, meramalkan kejadian, menceritakan pengalaman dan aneka bentuk permainan bahasa lainnya.
Wittgenstein mengawali deskripsinya tentang permainan bahasa dengan menyatakan bahwa permainan bahasa berkaitan dengan bahasa sehari-hari yang bersifat sederhana. Permainan bahasa merupakan sebuah proses alamiah penggunaan bahasa natural sejak kanak-kanak, karena itu Wittgenstein menyebut permainan bahasa sebagai sebuah bahasa primitif. Secara lebih luas Wittgenstein mengatakan bahwa keseluruhan tindakan penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan manusia senantiasa terjalin dalam suatu hubungan tata permainan bahasa. Setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasa tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah penampakan dari permainan bahasa.
Permainan bahasa merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi karena permainan bahasa bersifat spasio-temporal (dikondisikan oleh konteks waktu dan tempat tertentu). Dalam permainan bahasa tidak ada satu norma baku yang mengikat dan berlaku absolut bagi setiap ragam penggunaan walaupun untuk ragam penggunaan yang sama. Misalnya pada ragam bahasa perintah pada dua peristiwa yang berbeda. Kita dapat mengatakan bahwa pada permainan bahasa dalam ragam perintah yang satu berbeda dari permainan bahasa dalam ragam perintah yang lain. Perintah pada saat sekarang bisa berarti mubazir pada masa yang akan datang. Perintah pada waktu lampau bisa jadi tidak lagi aktual untuk dilaksanakan pada masa sekarang. Karena itu permainan bahasa itu bersifat unik, dinamis, tidak tetap (mutable) dan sesuai konteks (follow the situations).
Kendatipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa permainan bahasa tidak memiliki karakter normatif. Justru sebaliknya term ”permainan bahasa” merujuk pada aturan-aturan tertentu dalam bahasa yang diacu oleh setiap pengguna bahasa yang berbeda-beda. Wittgensteinmengatakan: ”Suatu permainan hendaklah berpedoman pada suatu aturan. Dalam suatu permainan catur jika sudah ditentukan bahwa ”raja” memegang peranan yang sangat penting, maka ketentuan itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita dapat melanggar  aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang aturan permainan itu. Mungkin kita tidak memahami aturan tersebut secara baik sehiingga mengerti salah petunjuk yang menggariskan agar kita berpikir tiga langkah ke depan sebelum menggerakkan setiap buah catur. Jikalau kita menjumpai penerapan aturan ini di atas papan catur, kita tentu akan merasa kagum dan memahami maksud dan tujuan suatu aturan. Analogi di atas menunjukkan bahwa dalam berbagai macam permainan bahasa terdapat aturan main tersendiri yang dijadikan pedoman dalam permainan tersebut. Aturan main ini berlaku secara spesifik karena itu tidak dapat dicampuradukkan satu dengan yang lain karena penerapan aturan main yang satu kepada aturan main yang lain akan menimbulkan kekacauan dalam berbahasa. Misalnya aturan main dalam ragam bahasa santai tidak dapat dimasukkan sebagai ragam yang sah dari penulisan ilmiah. Oleh karena itu, mustahil bilamana kita menentukan suatu permainan bahasa yang bersifat umum berlaku dalam setiap konteks kehidupan. Sebaliknya, bahasa akan memiliki makna jika mampu mencerminkan aturan-aturan yang terdapat dalam setiap konteks penggunaannya yang sifatnya beraneka ragam dan tidak terbatas.
Wittgenstein mengatakan bahwa permainan bahasa bersifat unik, berbeda-beda dan tidak tercampurbaurkan tidak dengan sendirinya memungkiri adanya suatu pola umum yang dapat menjembatani beberapa permainan bahasa tertentu. Dalam tataran praktis kita menemukan adanya penggunaan kata atau kalimat yang sama kendatipun untuk maksud dan konteks yang berbeda-beda. Dalam hal ini Witttgenstein berbicara tentang adanya kemiripan keluarga (family resemblance). Ia mengatakan: Saya kira tidak ada ungkapan yang lebih sesuai untuk mengungkapkan kesamaan ini selain aneka kemiripan keluarga. Aneka kemiripan di antara anggota keluarga itu terlihat pada bentuk, penampakan, warna mata, sikap, temperamennya dan lain sebagainya. Walaupun nampaknya simpang siur namun terletak dalam jalur yang sama dan hal ini sebagai bentuk permainan bahasa dalam sebuah keluarga.  Dalam hal ini penggunaan kata atau kalimat yang sama dengan pelbagai cara yang berbeda bukanlah berarti memiliki makna yang sama melainkan memiliki dasar-dasar kemiripan yang bersifat umum. Selain itu, dalam ragam bahasa yang sama meskipun memiliki arti yang berbeda dapat dilihat adanya suatu kemiripan yang menjadi pola umum dari ragam bahasa tersebut. Misalnya, pada ragam bahasa berdoa selalu ditutup dengan kata ”amin” atau dalam ragam bahasa doa permohonan ditemui sebuah kemiripan nada memohon meskipun diungkapkan dengan kalimat yang berbeda untuk tujuan yang berbeda. Dalam gagasan permainan bahasa, terdapat beberapa pokok pengertian yang dapat diambil dari pemikiran Wittgenstein sebagai berikut: Pertama, ada banyak permainan bahasa akan tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan bahasa tersebut. Esensi setiap permainan bahasa pada prinsipnya berbeda satu dengan lainnya tergantung pada konteks penggunaannya. Namun demikian di antara permainan-permainan ini dikenal adanya suatu kemiripan. Kedua, karena permainan bahasa ini tidak memiliki satu hakikat yang sama, maka timbul kesulitan dalam hal menentukan batas-batas permainan dengan secara tepat mengenai permainan tersebut. Kita hanya dapat mengetahui kemiripan bukannya kesamaan dari berbagai permainan bahasa karena batas-batasnya. Ketiga, meskipun orang tidak tahu persis sebuah permainan bahasa, namun dapat diketahui apa yang dapat dibuat dengan sebuah permainan itu. Permainan memang sebuah konsep yang sangat halus dan sulit untuk didefinisikan, sehingga sulit untuk dijelaskan dengan tuntas tentang permainan tersebut. Mengingat hal tersebut maka yang dapat dilakukan adalah memberikan deskripsi atau contoh-contoh.  Dengan deskripsi dan contoh-contoh tersebut akan membantu dalam pemaknaan suatu bahasa.
D.     Kritik terhadap Filsafat Ludwig Wittgenstein
Karya filsafat Wittgenstein memang cukup unik, padat dan terkesan sulit untuk dipahami isinya (Kaelan, 2004: 202). Miller menyatakan bahwa konsep Wittgenstein sebenarnya mengandung suatu paradox, karena suatu pernyataan konsep teori gambar tersebut menolak dengan tegas proposisi metafisis yang tidak menggambarkan dunia empiris. Dalam Tractatus dijelaskan bahwa hakikat bahasa merupakan gambaran realitas dunia, sehingga struktur logis bahasa menggambarkan struktur logis realitas dunia. Ungkapan Ketuhanan dan etika diistilahkan Wittgenstein dengan das mystiche (mistik) dianggap tidak memiliki makna. Pada akhir tesis Tractatus, Wittgenstein menyatakan bahwa memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan, yang melampui batas-batas bahasa, yang meliputi subjek, kematian, Allah dan bahasa sendiri. Bahasa adalah suatu gambaran dunia oleh karena itu subyek yang menggunakan bahasa tidak mungkin mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri. Manusia juga tidak mungkin berbicara tentang kematian, karena kematian dapat digolongkan ke dalam kejadian-kejadian lain di dunia. Disini dimaksudkan bahwa kematian termasuk batas dunia sehingga tidak dapat dimasukkan sebagai unsur dunia. Demikian juga dengan Allah, hanya dipandang sebagaisebagai sesuatu didalam dunia. Mengingat Allah tidak mungkin menyatakan diri di dalam dunia. Menurut Witgenstein tidak pernah sesuatu kejadian dalam dunia karena campur tanggan Allah, sebab jika demikian maka Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia (kaelan, 2004: 205).
Uraian filsafat Wittgenstain pada periode pertama memang mendapat perhatian dan reaksi yang keras dari kalangan filsuf idealisme, karena uraian metafisisnya terutama ungkapan tentang Tuhan (Allah). Menurut Beliau, Proposisi yang diungkap melalui kalimat yang berhubungan dengan ungkapan metafisis, terutama tentang Allah itu sama sekali tidak bermakna karena tidak mengungkap apapun.
Dalam buku keduanya Beliau mengakui kelemahan Tractatus yang mengembangkan suatu bahasa ideal dalam struktur logis serta mampu menggambarkan fakta empiris, menjadi doktrin Moore yang mendasarkan pada bahasa sehari-hari. Mengingat dalam Philosophical Investigation, ia menyatakan bahwa seseorang akan mencapai kepada suatu titik bahwa ia menghadapi bahasa yang tidak bermakna yang diterjemahkan menjadi suatu bentuk peraturan yang bersifat beraneka ragam dari suatu permainan bahasa (Kaelan, 2004: 207 ). Melalui karya keduannya ini, Beliau memelopori filsafat nalaistis yang mendasarkan pada filsafat bahasa biasa. Filsafat analistis menyesuaiakan diri dengan pandangan baru yang menekankan bahwa bahasa memiliki berbagai macam fungsi dalam kehidupan manusia, sehingga penggunaan bahasa harus memenuhi aturan penggunaan masing-masing. Karya terakhir Wittgenstein mencoba menjelaskan bahwa logika bahasa metafisis bukan suatu kesalahan namun merupakan salah satu model permaianan bahasa dalam kehidupan manusia.
Kalangan Linguis juga mengkritik karya Wittgenstein. Menurut mereka deskripsi filsafat Wittgenstein tidak mengangkat hakikat dan sifat-sifat dari teori bahasa. Tampaknya Wittgenstein memang tidak menekankan pada satuan gramatikal dalam ilmu bahasa, filsafat yang dikembangkannya bersifat konseptual yang bertujuan untuk mengembangkan suatu pengetahuan konseptual juga. Berdasarkan analisis metode filsafat yang dikembangkan oleh Wittgenstain, metode itu hanya terbatas kepada baahasa sehingga filsafat analistis yang dikembangkannya hanya tinggal bahasa yang tidak menyentuh realitas dunia maupun tatatan kebenaran tertentu. Metode yang dikembangkan Beliau menunjukkan bahwa disatu sisi untuk mencapai tingkatan kebenaran konsep filosofis dalam kenyataannya tidak menyentuh esensi konsep filosofis, sehingga yang tampak adalah analisis melalui bahasa. Jelas disini bahwa kelemahan Wittgenstein yang tidak mengembangkan metode antar disiplin  terutama dengan disiplin linguistik inilah, yang membuat analisisis tentang bahasa hanya bersifat sistematis.
E.      Pengaruh Filsafat Wittgenstein terhadap Positivisme
Positivisme lahir sebagai bagian penting epistemologi modern. Cara berpikir ini dimulai di Prancis oleh seorang tokoh yang bernama Aguste Comte (1798-1857). Epistemologi ini adalah bentuk evolutif dari epistemologi yang sebelumnya berkembang di Inggris yaitu empirisme. Positivisme adalah empirisme yang membatasi dirinya pada panca indera. Positivisme mengembangkan klaim empirisme tentang pengetahuan secara ekstrim dengan menyatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu berdasarkan fakta keras (terukur dan teramati), ilmu-ilmu positif. Menurut positivisme, filsafat bertugas menemukan prinsip ilmu pengetahuan sebagai pemandu prilaku umat manusia sekaligus mengatur kehidupan sosial masyarakat. Hal ini berarti masyarakat dipandang layaknya alam yang terpisah dari subyek peneliti dan bekerja dengan hukum-hukum determinisme.
Para tokoh lingkungan Wina seperti Moritz Schlick seringkali melakukan dialog dengan Wittgenstein pada tahun 1920-an guna mengembangkan metode mereka. Schlick sendiri sangat mengagumi karya Tractatus, sehingga ia memperkenalkan kepada lingkungan Wina serta menetapkan buku tersebut sebagai doktrin dalam pengembangan ilmu pengembangan ilmu pengetahuan. Schlick bermaksud mengajak Wittgenstein masuk didalam kelompoknya namun ditolak.
Problematika dalam paham ini adalah bagaimana menemukan suatu sistem istilah dan konsep yang menyeluruh dan mencakup semua ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan tersebut memiliki dasar yang kokoh dan menyeluruh. Problematika ini timbul karena sejak diluncutkannya manifesto ilmiah, kalangan positivisme memiliki ambisi untuk mengembangkan dasar ilmiah yang kokoh tidak hanya pada ilmu pengetahuan alam, melainkan juga bagi semua ilmu pengetahuan. Hal inilah yang mendorong kalangan positivisme mengkaji dan mengembangkan analisis bahasa dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Filsafat tidak akan mampu memecahkan problema-problema dalam ilmu pengetahuan, kecuali memberikan penjelasan yang pantas dan logis. Menurut pendapat Titus paham ini berkeyakinan bahwa tugas filsafat adalah melakukan suatu analisis terhadap bahasa, terutama dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan (Kaelan, 2004: 219). Dengan demikian menurut positivisme analisis bahasa terhadap ilmu pengetahuan menjadi masalah sentral dalam sistem pengetahuan.



BAB III
KESIMPULAN
Ludwig Wittgenstein adalah seorang fillosof besar abad dua puluh, melalui karya dan pemikirannya mampu mempengaruhi tradisi pemikiran dikemudian hari. Wittgenstein juga sebagai seorang filosof yang unik, radikal dan fundamental. Keunikan dan keradikalan pemikiran filsafat Wittgenstein dicirikan dengan sifat kontroversialnya antara karya yang pertama dengan karyanya yang kedua. Selain pemikirannya sangat padat dan fundamental, juga cara penyajiannya yang sangat unik yang berbeda dengan cara penyajian yang dilakukan oleh para filosof lainnya. Para filosof umumnya dalam menyajikan karyanya dengan bahasa yang panjang lebar, namun Wittgenstein dalam menyajikan karyanya menggunakan bahasa yang sangat singkat dan padat, misalnya dalam karyanya Tractatus Logico Philosophicus. Karya tersebut hanya 75 halaman saja, namun disajikan secara unik dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek dan tersusun berdasarkan urutan yang logis.
            Memang Wittgenstein tidaklah secara orisinil membangun suatu teori filsafat bahasa seorang diri, ada beberapa filosof yang punya andil dalam pemikiran Wittgenstein, antara lain Bertran Russell dan Goottlob Frege, keduanya sangat berpengaruh terhadap pemikiran Wittgenstein dalam karyanya yang pertama Tractatus Logico Philosophicus,  terutama terkait dengan bahasa ideal dan penggunaan logika dalam bahasa serta simbul dalam bahasa, sehingga mendorong lahirnya teori gambar (Picture Theory). Filosof lain yang banyak mempengaruhi pemikiran Wittgenstein  yang kedua Philosophical Investigations, terutama tentang penggunaan bahasa sehari-hari, yang selanjutnya menghasilkan teori tentang tata permainan bahasa (language games).
            Buah karya dan pemikiran Wittgenstein ini telah membawa warna baru dalam perjalanan sejarah dunia filsafat, terutama filsafat analitis bahasa, sehingga tidak mengherankan jikalau karya filsafat Wittgenstein merupakan suatu karya puncak dari paham atomisme logis yang didirikannya bersama dengan Bertand Russell.



Daftar Bacaan
Anscombe,G.E.M.and Von Wright,G.H.. 1975. Ludwig Wittgenstein:On Certainty (Uber Gewissheit). Oxford tersedia di http://budni.by.ru/oncertainty.html. diunduh Oktober 2010.
Gendlin, ET. 1997.What Happens When Wittgenstein Asks "What Happens When ...?".  dalam Jurnal The Philosophical Forum. Volume XXVIII. No. 3, Winter-Spring. Tersedia di http:// www.focusing.org/gendlin5.html. diunduh Oktober 2010
Kaelan. 2004. Filsafat Analistis Menurut Ludwig Wittgenstain. Yogyakarta:Paradigma.
Klagge, James C. and Nordmann, Alfred. 1993. Wittgenstein: Philosophical Occasions, 1912-1951”. Hacket Publishing Co., Indianapolis IN. Tersedia di http://www.flashq.org. diunduh Oktober 2010
My.opera.com/nyocor/blog/show/dml/mengenal Ludwig Wittgenstein dan pemikirannya, diakses pada tanggal 5 November 2010.
My.opera.com/nyocor/blog/show/dml/ mengenal Ludwig Wittgenstein dan pemikirannya, diakses pada tanggal 5 November 2010.
Thompson, James M. Wittgenstein's Contributions to Philosophy. Artikel tidak diterbitkan. Tersedia di http://sammelpunkt.philo.at:8080/1480/1/thompson.pdf. diunduh Oktober 2010
Panimbang, Fahmi. Filsafat Wittgenstein: Melawan Saintisme dengan Pemahaman.  Artikel ini tersedia di http:// buletincangkir.wordpress.com. diunduh Oktober 2010
Wittgenstein, Ludwig. 2004. Tractatus Logico-Philosophicus. Ebook. May, Posting Date: June 11, 2009. diunduh Oktober 2010