Jumat, 19 November 2010

Bisa dikaji secara ilmiah?

"Cogito, ergosum"

(saya berpikir maka saya ada) adalah kalimat Descrates seorang tokoh filsafat yang mengajak kita mencari kebenaran dengan memberi tekanan bahwa akal (ratio) dan pengalaman merupakan hal penting dalam dalam mencari pengetahuan. Makna sesungguhnya dari kalimat Beliau adalah selalu mencoba mencari kebenaran yang dilandasi fakta dan ini menjadi dasar dari Modernisme. Tentu saja berpikir ala Descarates membuat kita harus sedikit meminggirkan peran yang gaib-gaib. Schiller seorang penyair dari abad ke-18 di Jerman menyebut arus modern ini sebagai die Entgtterung der Natur, “lepasnya dewa-dewa dari alam”.



Tuhan tidak melarang manusia berpikir rasional, bahkan mendorong kita untuk berpikir dengan cara tersebut. Al-Quran adalah suatu kitab suci yang sangat memberi penekanan dan kontribusi besar bagi akal dalam berbagai lapangan pengetahuan dan kehidupan. Al-Qur'an senantiasa mengajak untuk berpikir, bertadabbur, dan menjauhi taqlid buta dalam berbagai masalah akidah dan keyakinan, serta memandang sangat buruk orang-orang yang tidak menggunakan akalnya (Q.S : Yunus :100). Namun semestiya kita paham bahwa pemaparan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan agar manusia mau berpikir dengan kesimpulan kebenaran Kemahakuasaan Allah, seperti terciptanya alam termasuk bumi yang ditempati sebagai tempat kehidupan manusia (Q.s. Ar-Ra’d: 3; Al-jatsiah: 12; Az-Zumar: 12).

Logika manusia memang terbatas, karena setiap manusia mendasarkan logikanya berdasarkan fakta dan pengalamannya masing-masing, dan tentu saja setiap individu pasti akan mencermati satu fakta yang sama secara berbeda. Perbedaan yang terjadi menurut saya akan menjadi rahmat apabila didasarkan keyakinan untuk mencari kebenaran bukan kemenangan logika pribadi.

Berpijak dari hal diatas, kita mencoba mengkaji beberapa fakta yang terjadi Yogyakarta, November 2010 ini.



MASJID YANG TETAP UTUH

Jika kita mencoba mengingat peristiwa Tsunami Aceh bebrapa tahun yang lalu, sempat beredar beberapa foto mengenai masjid yang utuh saat terjangan ombak Tsunami. DI beberapa diskusi entah angkringan, kelas atau jejaring sosial saya selalu berpijak kepada logika bahwa bangunan masjid terdiri dari banyak pintu dan rongga, sehingga tekanan air saat Tsunami bisa tersalur tidak terhambat. Jadi hempasan Tsunami yang mengenai masjid tidak terlalu diadu dengan struktur bangunan, ini lah kenapa Masjid di Aceh masih bisa berdiri kokoh.
Namun logika tersebut terusik saat melihat hasil terjangan awan panas gunung merapi yang terjadi selama bulan November 2010 di Yogyakarta. Beberapa dusun yang menjadi korban terjangan dan rata dengan tanah sehingga menunjukkan fakta yang mengagumkan. Masjid yang tidak goyak terpapar dahsyatnya awan panas...

Semestinya masjid di samping rumah mbah Maridjan (seorang juru kunci-penjaga gunung merapi yang ikut  meninggal saat bencana awan panas terjadi) ini ikut hancur atau paling tidak kehilangan atapnya yang terbuat dari kayu setelah terpapar awan panas. Suhu wedus gembel (local genius warga yogyakarta menyebut nama awan panas) di kawah Merapi bisa mencapai 1.000 derajat Celcius dan kecepatan sampai 150 Km perjam. Apapun yang diterjangnya akan hancur dan mati.
Namun pertanyaannya kenapa masjid yang terpapar wedhus gembel ini masih bisa berdiri tegak, bahkan atapnya yang tersusun dari kayu juga utuh..berbeda sekali dengan bangunan disekitarnya. Kali ini saya membutuhkan perbandingan logika Anda...!

Tidak ada komentar: